Menarik. Itu kata pertama yang terlintas ketika saya menatap dashboard pemilu di platform pemilu.iaitb.or.id. Menarik bukan karena suasana kompetisinya yang mulai memanas. Bukan pula karena euforia yang biasanya menggema jelang hari pemilihan. Tapi menarik karena kali ini Pemilu IA-ITB tampaknya benar-benar sedang bergeser ke arah yang tak terduga.
Coba tengok saja siapa yang mendominasi dinamika awal pemilu kali ini. Angkatan 2000-an. Ya, nama-nama yang muncul, paling tidak yang sudah mengambil formulir bakal calon Ketua Umum IA-ITB, berasal dari alumni yang notabene pada umumnya masih mencari kestabilan dalam berkarir dan berbisnis. Tak tampak wajah-wajah lama, para alumni senior, khususnya dari angkatan 80an dan 90an yang mulai dikenal sebagai tokoh nasional, pejabat negara, direktur utama BUMN, pemilik perusahaan multinasional, atau pengusaha kelas kakap. Tak satu pun dari mereka tampaknya muncul di publikasi kandidat.
Apakah ini tanda bahwa generasi baru sudah benar-benar mengambil alih? Atau hanya strategi “menunggu waktu” dari para senior?
Mohon maaf jika saya salah berpendapat, mungkinkah alumni-alumni senior sedikit deg-degan dengan fenomena Pemilu IA-ITB 2021? Siapa yang bisa lupa dengan nama Seterhen Akbar alias Saska, alumni Teknik Elektro angkatan 2003, yang saat itu hampir saja memenangkan pemilu IA-ITB dengan selisih tipis, hanya 108 suara dari Gembong Primadjaja, alumni Teknik Mesin angkatan 1986. Perolehan suaranya, 5690 berbanding 5798, mengejutkan banyak pihak. Itu seperti tamparan halus bagi paradigma lama bahwa hanya tokoh-tokoh besar, populer, dan berpengaruh yang pantas memimpin organisasi sebesar IA-ITB.
Apa artinya semua ini? Buat saya pribadi, ini menunjukkan bahwa para alumni ITB “agak-agak susah ditebak” cara berpikirnya. Mereka tidak lagi semata mencari simbol untuk dipajang di pucuk pimpinan. Memang banyak teori soal fenomena ini yang mengisahkan betapa pergerakan alumni muda pada saat itu begitu masif dalam pemilihan Pemilu IA-ITB tahun 2021.
Namun, bagaimanapun sebagian masih menyisakan harapan bahwa “kejutan besar” akan muncul di menit-menit akhir pendaftaran. Mungkin seorang menteri. Mungkin direktur utama BUMN. Atau pengusaha sukses yang kini sedang naik daun? Semua mungkin. Tapi bagi saya pribadi, itu bukan soal utama.
Saya sendiri tak terlalu mempersoalkan siapa yang akan terpilih menjadi Ketua Umum IA-ITB periode 2025–2029 nanti. Lebih penting dari itu adalah bagaimana kita, alumni ITB dari lintas jurusan dan lintas angkatan, bisa menerima dan mendukung sosok yang terpilih, siapapun dia. Karena pada akhirnya, IA-ITB bukan hanya tentang siapa yang duduk di atas, tapi tentang bagaimana kita bergerak bersama-sama dalam gerbong bernama Ikatan Alumni ITB.
Yang pasti, masih ada kurang lebih tiga hari lagi bagi alumni-alumni lain yang merasa terpanggil untuk mengadu nasib dalam percaturan ini. Atau siapa tahu periode pendaftaran ini malah kembali diperpanjang karena sosok yang “ditunggu-tunggu” belum juga menampakkan diri. Kita tunggu saja, karena seperti halnya pemilu sebelumnya, IA-ITB selalu menyimpan kejutan di detik-detik akhir.
Leave a Reply